Namun, pada hari kelima, segalanya berubah ketika aku mendapati ayah tiri memperbaiki sepatu favoritku yang rusak. Ia melakukannya tanpa mengatakan apa-apa. “Aku lihat kamu sering pakai ini,” katanya pelan. Aku hanya mengangguk tanpa berkata apa-apa. Dalam diam, aku mulai merasakan ada upaya dari dirinya untuk masuk ke dalam hidupku.
Malam-malam berikutnya, aku sering mendengar ia berbicara dengan ibu. Ia berbicara tentang masa kecilnya yang sulit, tentang kehilangan, dan perjuangan hidup. Ia berbicara dengan nada tulus, tanpa sedikit pun mengeluh. Di sana, aku mulai melihat bahwa ayah tiri bukanlah ancaman, melainkan seseorang yang mencoba mencintai dengan caranya sendiri.
Pada hari ke-15, aku sakit. Demam tinggi membuatku terbaring lemah. Saat itulah ayah tiri mengambil peran yang tak kuduga. Ia merawatku, memastikan aku makan dan minum obat tepat waktu. Saat aku bertanya mengapa ia begitu peduli, ia hanya menjawab, “Karena kamu adalah bagian dari ibumu. Itu sudah cukup bagiku.”
Hari ke-20, aku memberanikan diri untuk mengajaknya berbicara. Kami duduk di ruang tamu sambil menonton televisi. Pembicaraan kami dimulai dengan topik ringan, tetapi akhirnya menjadi obrolan mendalam tentang mimpi dan ketakutan. Aku menyadari bahwa ia bukanlah sosok yang sempurna, tetapi ia memiliki hati yang tulus untuk melindungi keluarganya.
Pada malam ke-30, aku akhirnya berkata, “Terima kasih sudah mencoba.” Ia menatapku dengan mata yang berkaca-kaca, lalu berkata, “Aku tidak mencoba menjadi ayahmu. Aku hanya ingin menjadi seseorang yang bisa kamu andalkan.”
Di akhir perjalanan ini, aku menyadari bahwa cinta tidak selalu datang dalam bentuk yang kita harapkan. Cinta ayah tiri bukanlah cinta yang memaksa, melainkan cinta yang sabar dan tulus. Dalam 30 hari 30 malam itu, aku belajar bahwa keluarga bukan hanya soal hubungan darah, tetapi tentang bagaimana kita mencintai dan saling menerima.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar